Cerita Nisa

S'moga Allah m'jaga keikhlasan Qta, meridhoi Qta, s'nantiasa m'mberikan rezeki kepada Qta, m'berkahi usaha Qta, m'mudahkan urusan yang Qta hadapi, m'berikan kesehatan lahir dan bathin... Hingga S'nantiasa t'gerak untuk b'buat k'baikan s'tiap saat dimanapun berada...

Minggu, 27 Maret 2011

*** BERTEMU WILDA ***

“ Asma ! “
Aku menghentikan langkahku, mencari sumber suara. Wilda muncul dari ruangan Bang Seno, pimpinan redaksi majalah Gupita yang merupakan sebuah majalah terkemuka ini. Tidak hanya itu Bang Seno juga menduduki sebuah posisi penting di sebuah perusahaan penerbit terkenal di kota kami.
Aku menunggu sejenak. Wilda mendekatiku dengan menenteng setumpuk file kertas di tangannya.

“ apa itu ? “ tanyaku menunjuk ke arah bawaan Wilda, ketika Wilda telah tepat menjajariku.
“ biasa, tidak boleh menyerah !, harus revisi lagi “ jawabnya dengan senyum mengembang.

Aku tersenyum juga, kata – kata ini telah menjadi obat ampuh bagi kami jika naskah – naskah tulisan kami di tolak oleh Bang Seno. Merasa sama – sama sebagai penulis amatir, kami harus bisa saling membesarkan hati agar tetap bersemangat menulis, meski sering kali tulisan kami tidak layak untuk terbit seperti sekarang yang terjadi pada diri Wilda.

“ ini harus dirayakan, As “
“ maksudmu ? “
“ aku traktir kamu makan siang, kamu belum makan to ? “

Aku tersenyum kembali, “ kamu ini aneh, naskah di tolak kok ngajak makan – makan. Apa nggak salah tuh ? “
“ loh emang salahnya apa ?, wong cuma ngajak makan kok. Barangkali dengan ngajak kamu makan siang ini, minggu depan atau bulan depan naskahku bisa diterima “ kata Wilda mantap.
“ Amiiiiinnn… “ doaku pada pengharapan Wilda.
“ Bagaimana kalau ini dijadikan tradisi saja jika naskah tulisan kita tidak layak terbit “
“ siapa takut…!!, tapi tradisi untuk anak – anak tetep dong “ kataku.
“ ya iyalah !! “ jawab Wilda lebih mantap.

Wilda mengiyakan kata – kataku, tentang sebuah tradisi kami berdua jika naskah tulisan kami terbit maka sepuluh persen dari royalty yang kami terima akan kami sisihkan untuk anak – anak yatim piatu dipanti asuhan Mutiara Bunda. Sebuah panti asuhan yang berada tak jauh dari lingkungan tempat kami tinggal.

Aku dan Wilda bersahabat dekat, tepatnya persahabatan kami terjalin dekat sejak pertemuan kami yang tanpa sengaja di kantor redaksi majalah pimpinan Bang Seno ini.

Sebenarnya kami sudah saling mengenal sebelumnya, kami adalah teman waktu SMP, hanya tidak terlalu dekat saja. Selepas SMP kami sama sekali tidak tahu kabar masing – masing. Sebuah kabar yang tidak aku perhatikan, ku denganr Wilda diterima di sebuah SMA favorit di kotaku ini.

Meski rumah kami tak begitu jauh, karena hanya berjarak kurang lebih lima kilometeran, kami tak pernah sekalipun saling berkunjung, atau sengaja untuk bertemu, berkata dan bertutur sapa. Karena memang kami tidak begitu dekat. Bahkan aku juga tidak mengetahui jika Wilda ternyata lulusan dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di kota kami bahkan di negeri ini.

Di kantor redaksi majalah ini, akhirnya kami bertemu. Tak lain tak bukan keterdekatan kami terjalin karena kami sama – sama hoby dengan menulis, dan bercita – cita untuk berprofesi sebagai penulis. Entah mengapa kami yang awalnya tak begitu saling mengenal menjadi begitu terbuka dengan diri kita masing – masing.

Keterdekatan kami bukan hanya milik kami berdua, tapi juga keluarga kami.
Bagiku sudah tidak asing lagi di telingaku jika Ayah dan ibuku memanggil ‘sayang’ pada Wilda, sebuah panggilan yang biasanya hanya peruntukkan ayah ibuku di rumah. Wilda sudah menjadi bagian dari keluargaku. Apalagi keadaan Wilda yang piatu sejak kecil, menjadikannya begitu dekat dengan ibuku. Sepertinya Wilda sangat sayang dengan ibuku. Ini terbukti jika kebetulan Wilda keluar kota untuk sekedar promo, bedah buku, atau undangan sebagai salah satu nara sumber pelatihan menulis. Wilda selalu tidak melupakan untuk membawakan oleh – oleh untuk ibuku.

Aku menyayangi Wilda, sebaliknya Wildapun aku yakin menyayangiku. Telah kuanggap Wilda sebagai saudara perempuanku diantara dua saudara laki – lakiku yang kesemuanya telah menikah dan tinggal di luar kota.

“ Kamu mau makan dimana ? “ tanya Wilda kemudian
“ terserah yang mau traktir aja deh “ jawabku kalem
“ siang begini makan yang seger – seger kayaknya enak deh, kita makan di warung sotonya bu Tarni aja yuk ? “
“ boleh, kangen juga aku dengan juice duriannya “ kataku, seketika membayangkan satu gelas juice dari buah kegemaranku itu.
“ kalau begitu lets go !! “ ajak Wilda semangat tentu di ikuti olehku.
Kami berdua segera menuju ke tempat parkir kantor redaksi majalah Gupita.
“ kita sendiri – sendiri saja, soalnya nanti aku mau mampir ke toko roti “ kata Wilda, mendapati keraguanku apakah kami pergi berboncengan saja mengingat kami sama – sama membawa kendaraan roda dua.

Maka akupun akhirnya tanpa ragu, menstater motor maticku. Kami melaju menuju jalan Patriot dimana warung bu Tarni berada di ujung jalan itu. Wilda menjalankan kendaraannya di belakangku. Hanya butuh beberapa menit saja kami sampai di sebuah warung semi permanen milik bu Tarni ini. Sebuah warung sederhana dengan bangku plastic warna biru berjajar rapi.

Jam makan siang, tak heran warung ini telah penuh sesak dengan pembeli. Jangan harap kami akan mendapatkan tempat duduk favorit kami seperti biasanya, bahkan sudah bisa mendapat bangku untuk duduk saja kami sudah teramat beruntung.
Pelayan warung soto bu Tarni datang menghampiri meja kami berdua, dengan ramah mencatat semua menu pesanan kami. Dan tidak begitu lama dua buah mangkuk soto dan dua buah gelas juice masing – masing juice durian dan jambu batu telah terhidang di meja kami. Kontan tergugah selera makanku, Wilda memang tahu saja kemana harus membawaku untuk menyantap makanan lezat dan nikmat ini.
Tanpa ragu, kami berdua melahap menu sederhana namun selalu terasa istimewa di lidah kami ini.

“ As, sebenarnya aku kepingin cerita “ kata Wilda di sela – sela makan kami
“ ya “ aku sama sekali tidak mengalihkan perhatianku dari nikmatnya juice durian di gelasku
“ tapi kamu jangan cerita sama siapa – siapa dulu, ya? “ pinta Wilda
“ ini rahasia kita berdua maksudmu ?, oke.., oke, sok atuh cerita “ kataku sok bicara dengan bahasa sunda, kali ini dengan menetap wajah bulat Wilda.
Beberapa menit Wilda masih diam, sepertinya agak ragu – ragu untuk memulai ceritanya.
“ ayolah, tentang apa?, tulisanmu ?, kenapa dengan tulisanmu?, apa yang di bilang Bang Seno sama kamu ? “ beberapa pertanyaan akhirnya meluncur dari mulutku.
“ bukan, bukan tentang tulisan – tulisanku “ jawab Wilda
“ lalu ? “
( To be continued.... )






>>>>>>>>> From : ASMARANI oleh Khairunnisa Istiana

Tidak ada komentar:

- Cerita Nisa -